Sukarelawan palang merah yang baru pulang dari Fukushima dipindai untuk memastikan ada tidaknya paparan radiasi nuklir yang bocor dari PLTN.
KOMPAS.com — Para ahli berharap, penetapan skala 5 pada kecelakaan nuklir akibat gempa dan tsunami di PLTN Fukushima Daiichi, Jepang, menjadi akhir kejadian. Namun, para ahli merasa belum pasti. Mereka pun mempersiapkan pembuatan ventilasi maupun penguburan reaktor PLTN dengan pasir dan beton.
"Risiko paling buruk bisa seperti yang terjadi di Chernobyl, Ukraina,” kata ahli nuklir Sihana, Ketua Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (21/3/2011).
Di antara 6 unit reaktor PLTN Fukushima, Unit 3 masih dalam kondisi kritis, setelah itu Unit 4. Unit 3 sedang beroperasi sebelum gempa dan tsunami. Adapun Unit 4 sedang diistirahatkan ketika gempa dan tsunami melanda, Jumat (11/3).
Setelah kejadian, pada reaktor Unit 3 terjadi kegagalan pendinginan sesudah ada prosedur shut down (padam) secara otomatis ketika reaktor dilanda gempa dengan moment magnitude (MW) 9,0. Meski padam, reaktor masih tetap panas.
Pendinginan reaktor dijalankan dengan sistem listrik dari generator cadangan. Namun, generator pemasok listrik cadangan rusak terempas tsunami. Akibatnya, sistem pendinginan reaktor Unit 3 gagal. Padahal, suhu waktu itu diperkirakan 1.200 derajat celsius.
Suhu tinggi di reaktor Unit 3 dikhawatirkan melelehkan batang bahan bakar nuklir. Menurut Sihana, jika batang bahan bakar meleleh, suhu bisa mencapai 2.000 derajat celsius.
Kondisi reaktor Unit 4 lebih baik dibandingkan Unit 3. Pada Unit 4 memang sempat terjadi kebakaran. Menurut Sihana, kebakaran pada instalasi reaktor Unit 4 merupakan akibat kebocoran refrigeran pada sistem pendingin.
Sekarang, apa yang menimbulkan kekhawatiran kecelakaan nuklir di PLTN Fukushima akan sama dengan Chernobyl? Sejauh mana radiasinya berdampak bagi Jepang atau dunia?
Suhu yang bisa mencapai 2.000 derajat celsius di dalam reaktor Unit 3 akibat pelelehan batang bahan bakar nuklir Uranium 235 menjadi sumber kekhawatiran. Bangunan pengungkung reaktor tidak bisa sepenuhnya diharapkan mampu menahan tekanan karena suhu reaktor yang sangat tinggi itu,
”Pendinginannya hanya mengandalkan udara,” kata Sihana.
Pendinginan udara berdaya kecil. Kondisi inilah yang menyebabkan kekhawatiran bangunan pengungkung reaktor nuklir tidak mampu bertahan.
Upaya pencegahan
Suhu terlampau tinggi di dalam reaktor Unit 3 mengakibatkan tekanan. Para ahli di Jepang merekomendasikan alternatif pembuatan ventilasi reaktor untuk mengurangi tekanan dan mengurangi risiko ledakan.
Skenario berikutnya, mengubur reaktor dengan pasir dan beton. Penguburan diharapkan mampu meredam ledakan dan berharap suhu pada batang bahan bakar nuklir uranium berangsur-angsur turun sehingga tidak meleleh dan stabil.
Sebelum dua skenario itu ditempuh, cukup beralasan orang mengkhawatirkan terjadinya risiko ledakan seperti di Chernobyl.
”Ledakan akan mengakibatkan seluruh zat radioaktif keluar. Ini sama seperti terjadi di Chernobyl. Bedanya, di Chernobyl tak ada pengamanan reaktor secara berlapis,” kata Sihana.
Bahan bakar nuklir untuk PLTN berupa Uranium 235 mendapatkan pengayaan sekitar 3 persen. Ini jauh lebih rendah dibandingkan pengayaan pada Uranium 235 yang digunakan untuk bom atom Hiroshima.
Pengayaan Uranium 235 untuk bom atom Hiroshima mencapai 90 persen dan memiliki kadar kemurnian yang jauh lebih tinggi. Ketika mengalami ”massa krisis”, bom nuklir itu akan sangat cepat meledak dan sangat dahsyat.
”Ledakan di PLTN bisa karena tekanan di dalam reaktor sangat kuat atau ledakan hidrogen,” kata Sihana.
Radiasi
Badan Keselamatan Nuklir dan Industri (NISA) Jepang, pada Kamis (17/3) sore waktu setempat, menaikkan skala kejadian kecelakaan nuklir PLTN Fukushima dari skala 4 menjadi skala 5. Skala kejadian kecelakaan nuklir ditetapkan ke dalam Skala Kejadian Radiologi dan Nuklir Internasional (INES). Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) memulai pengukuran pada keesokan harinya.
Pada skala 4, kategori kecelakaan tanpa risiko ke lingkungan. Lepasan zat radioaktif terbatas dengan dosis radiasi dalam batas yang ditetapkan.
Pada skala 5, kecelakaan dengan risiko dampak ke lingkungan. Kondisi darurat nuklir ditetapkan terbatas di sekitar instalasi PLTN. Ini disertai kerusakan pada teras nuklir dan pelindung radiologisnya.
Penyemprotan dengan air laut seberat sekitar 30 ton menggunakan helikopter, menurut Sihana, selain untuk mendinginkan reaktor juga bermakna untuk memerangkap partikel zat radioaktif yang terlepas di udara agar larut ke dalam air.
Ada dua unsur radioaktif utama, yaitu isotop Iodine 131 dengan waktu paruh delapan hari dan Cesium 137 dengan waktu paruh 30 tahun. Tubuh manusia dapat terkontaminasi melalui air, udara, partikel debu, makanan, dan minuman.
Penetapan skala kejadian menjadi skala 5 saat ini telah meningkatkan risiko masyarakat di sekitar PLTN Fukushima untuk terpapar zat radioaktif. Mungkin saja ancaman masih terbatas dalam radius 20-30 kilometer. Namun berjaga-jaga di luar wilayah itu juga tindakan bijaksana.
Sumber : http://sains.kompas.com/read/2011/03/22/12090079/Berharap.Skala.5.Jadi.Akhir.Kejadian