Motor tempel berbahan bakar solar menjadi pilihan para nelayan ketimbang menggunakan layar yang tergantung pada angin sehingga membuat perahu mereka lebih lambat melaju.
Selama berlayar, nelayan memerlukan energi untuk penerangan pada malam hari. Untuk itu, digunakan lampu petromaks. Kebutuhan energi ini tak dapat terpenuhi karena kelangkaan pasokan minyak tanah.
Untuk menggantikan motor tempel berbahan bakar minyak solar dan lampu petromaks, digunakan motor penggerak yang menggunakan baterai kering (aki). Baterai kering juga digunakan untuk lampu penerangan. Selama seminggu berlayar, nelayan paling tidak perlu membawa 10 aki untuk penerangan dan menggerakkan sistem navigasi.
Motor penggerak bertenaga baterai dikembangkan oleh Suji Kuswahjudi, inovator dari Pasuruan, Jawa Timur. Tamatan STM ini mengembangkan desain motor dengan bimbingan peneliti di Balai Besar Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Semarang (Balai Besar Penangkapan Ikan KKP Semarang).
"Penggunaan baterai kering untuk mesin perahu tempel dapat menjadi solusi bagi nelayan untuk mengatasi kesulitan BBM (bahan bakar minyak)," katanya. Baterai dapat menjalankan mesin perahu untuk menangkap ikan. Sistem ini telah dicoba nelayan di Danau Ranu, Pasuruan.
Pembuatan kapal motor bertenaga surya dirintis Sudiyono dan Bambang Antoko, perekayasa dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, dua tahun lalu. "Kapal ini digunakan untuk wisata sungai, yaitu menyusuri Kali Mas di Surabaya," kata Donald Manurung, seorang peneliti dari Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan KKP (P3TKP KKP).
Mereka merancang bangun kapal dengan panjang hampir 4 meter dan lebar 2 meter. Kapal berbobot lebih dari 0,56 ton itu digerakkan oleh aki. Baterai kering ini disetrum dengan sel surya yang terpasang di bagian atap kapal. Dengan luas 3,6 x 1,8 meter persegi, di atap kapal dapat termuat 18 panel sel surya.
Kapal katamaran
Kapal tersebut mengilhami Donald Manurung untuk membuat kapal bertenaga sel surya. Namun, kapal yang ia buat berbeda konstruksi, yaitu berupa kapal katamaran atau kapal yang memiliki dua lambung.
Kegunaan kapal ini juga berbeda, yaitu sebagai pemantau perairan dan membantu nelayan membudidayakan rumput laut. "Karena memiliki lambung ganda, kapal ini tak digunakan di ombak yang tinggi," kata Berni Subki, Kepala Bidang Pelayanan Teknis P3TKP.
"Kapal katamaran ini hanya beroperasi di perairan tertutup dengan tinggi gelombang maksimum satu meter," kata Manurung yang meraih gelar S-1 di Teknik Perkapalan ITS. Kecepatan kapal ini relatif rendah, hanya 5 knot alias 9 kilometer per jam.
Kapal ini memiliki spesifikasi panjang 3 meter dan lebar 2,8 meter. Menurut rencana, kapal itu dirancang bangun di galangan kapal Tanjung Priok. Manurung merancang kapal itu menggunakan 8 panel sel surya untuk menghasilkan listrik 120 watt. Listrik yang tersimpan dalam baterai kemudian menggerakkan motor berdaya 3 tenaga kuda.
Menurut dia, penggunaan sel surya akan menghemat biaya bahan bakar. Bila menggunakan solar, kapal nelayan yang berlayar selama 20 hari layar per bulan akan menghabiskan biaya Rp 1.350.000. Karena menggunakan panel sel surya, tidak diperlukan dana untuk membeli solar.
Pembelian dan pemasangan 9 panel pada kapal itu memerlukan total biaya Rp 45 juta. Meski biaya awal relatif besar, hal itu setara dengan 33 bulan tidak membeli solar. "Sel surya dapat digunakan hingga 20 tahun. Jadi, dapat menghemat hampir tujuh kali lipat," kata Manurung.
Kapal bertenaga sel surya sesungguhnya bukan hal baru. Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, banyak dibuat kapal yang menggunakan sel surya, baik dari bahan film tipis maupun kristalin. Umumnya menggunakan monokristalin agar tetap dapat menyetrum baterai walau cuaca mendung. Meski demikian, penggunaannya belum dikembangkan lebih lanjut karena efisiensi masih rendah, di bawah 20 persen.
Kincir angin
Selain sel surya, kincir angin dapat digunakan untuk menyetrum aki. Menurut peneliti Sistem Konversi Energi Angin (SKEA) dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Suripno, rancangan kincir enam sudu dapat menghasilkan daya 80 watt. "Dengan sudu banyak, kincir lebih mudah berputar meski kecepatan angin lemah, minimal 1,2 meter per detik," tutur Suripno.
Uji coba kincir angin pada kapal nelayan dilakukan tahun 2002 di Palabuhan Ratu, Jawa Barat, dengan hasil baik. SKEA dapat memasok 80 persen listrik pada baterai sehingga jumlah aki yang dibawa dapat dikurangi. Untuk seminggu berlayar, hanya perlu membawa dua aki dari sebelumnya 10 buah.
Tahun ini, kincir angin tersebut dikembangkan dengan dukungan dana dari Kementerian Riset dan Teknologi dan mulai diproduksi oleh perusahaan swasta. Untuk satu unit kincir angin, diperlukan dana Rp 3 juta di luar baterai. Sistem ini dapat dipadukan dengan satu panel sel surya 100 watt berharga sekitar Rp 5 juta. Integrasi dapat dilakukan dengan menghubungkan dua unit itu dengan sistem kontrol hibrida.
Sumber : http://sains.kompas.com/read/2011/04/14/15010262/Mengembangkan.Kapal.Bersistem.Hibrida