Status sebagai Kota Pendidikan membuat banyak anak muda, terutama mahasiswa, menuntut ilmu di kota Yogyakarta. Bisnis kos-kosan, warung makanan, tempat fotokopi pun tumbuh subur. Tak terkecuali warung internet alias warnet.
Tengok saja di wilayah sekitar perguruan tinggi, misalnya Klebengan yang dekat dengan kampus UGM dan UNY. Di sana, warnet pun bertebaran baik skala besar maupun kecil.
Demikian juga di seputaran jalan Gejayan atau Moses Gatotkaca yang menjadi markas kampus Sanata Dharma. Atau di wilayah Seturan yang dekat dengan Universitas Atma Jaya dan STIE YKPN.
"Saya kira jumlah warnet di sini memang tertinggi di antara kota-kota lain. Ya salah satu faktornya karena di sini banyak mahasiswa sedang kuliah," kata Gana Arditya Mulya, Kabid Humas APJII Yogyakarta.
Memang konsumen terbesar para warnet di Kota Gudeg adalah para mahasiswa. Mereka menggunakannya untuk mengerjakan tugas, sekadar browsing atau main game online. Terlebih lagi tarif warnet terhitung murah meriah untuk kantong mahasiswa, berkisar RP 3.000 per jam.
Rata-rata, bangunan warnet di Yogyakarta juga menawarkan kenyamanan bagi para pengunjungnya. Barangkali, persaingan yang sangat ketat membuat pengelola warnet tak segan memberikan fasilitas lumayan lengkap. Kalau tidak, bisa-bisa mereka tidak kebagian tamu.
Kursi yang empuk, monitor LCD, headset, dan webcam adalah fasilitas standar di beberapa warnet. Sudah begitu, bilik-bilik di warnet pun berukuran luas dan kadang berdinding tinggi sehingga menawarkan privasi bagi pengunjung.
Namun di sisi lain, bilik yang terlalu tinggi ini ditengarai menjadi ruang untuk aktivitas yang tidak pantas. Bahkan kabarnya, ada warnet yang menawarkan kamar tertutup untuk mengakses internet namun pada kenyataannya besar kemungkinan disalahgunakan para pengunjung.
Meski warnet masih menjamur di Yogyakarta, tekanan kian hari kian berat. Banyak kaum muda sekarang sering mengakses internet via ponsel, WiFi yang banyak digratiskan di kampus ataupun maraknya penggunaan modem.
"Ya, sekarang bisnis warnet di sini kelihatannya mulai jenuh. Banyak yang sudah beli modem sendiri soalnya," ucap Gana.
Tengok saja di wilayah sekitar perguruan tinggi, misalnya Klebengan yang dekat dengan kampus UGM dan UNY. Di sana, warnet pun bertebaran baik skala besar maupun kecil.
Demikian juga di seputaran jalan Gejayan atau Moses Gatotkaca yang menjadi markas kampus Sanata Dharma. Atau di wilayah Seturan yang dekat dengan Universitas Atma Jaya dan STIE YKPN.
"Saya kira jumlah warnet di sini memang tertinggi di antara kota-kota lain. Ya salah satu faktornya karena di sini banyak mahasiswa sedang kuliah," kata Gana Arditya Mulya, Kabid Humas APJII Yogyakarta.
Memang konsumen terbesar para warnet di Kota Gudeg adalah para mahasiswa. Mereka menggunakannya untuk mengerjakan tugas, sekadar browsing atau main game online. Terlebih lagi tarif warnet terhitung murah meriah untuk kantong mahasiswa, berkisar RP 3.000 per jam.
Rata-rata, bangunan warnet di Yogyakarta juga menawarkan kenyamanan bagi para pengunjungnya. Barangkali, persaingan yang sangat ketat membuat pengelola warnet tak segan memberikan fasilitas lumayan lengkap. Kalau tidak, bisa-bisa mereka tidak kebagian tamu.
Kursi yang empuk, monitor LCD, headset, dan webcam adalah fasilitas standar di beberapa warnet. Sudah begitu, bilik-bilik di warnet pun berukuran luas dan kadang berdinding tinggi sehingga menawarkan privasi bagi pengunjung.
Namun di sisi lain, bilik yang terlalu tinggi ini ditengarai menjadi ruang untuk aktivitas yang tidak pantas. Bahkan kabarnya, ada warnet yang menawarkan kamar tertutup untuk mengakses internet namun pada kenyataannya besar kemungkinan disalahgunakan para pengunjung.
Meski warnet masih menjamur di Yogyakarta, tekanan kian hari kian berat. Banyak kaum muda sekarang sering mengakses internet via ponsel, WiFi yang banyak digratiskan di kampus ataupun maraknya penggunaan modem.
"Ya, sekarang bisnis warnet di sini kelihatannya mulai jenuh. Banyak yang sudah beli modem sendiri soalnya," ucap Gana.